Purnama Tersenyum di Langit Busan


purnama“Sofia, belakangan ini aku sering merenung, entah mengapa, disadari atau tanpa disadari, sering kali kita ini senang atau cenderung untuk menegur kekhilafan saudara kita dalam keramaian,” kata Aufa.

“Aku tak mengerti mengapa kita begitu sulit rasanya untuk berbicara langsung dengan saudara kita yang berbuat khilaf. Inginnya kita ceritakan kepada dunia tentang kesalahannya.”

“Padahal, Sofia, kita pun bukan makhluk tiada khilaf.”

“Mungkin kita lupa perkataan Ali bin Abi Thalib: Siapa lupa pada kesalahannya sendiri, kesalahan orang lain kan jadi besar teramati,” Aufa mengakhiri keluhnya pada Sofia.

“Aufa, aku rasa tidak sepenuhnya demikian. Mungkin saja kita dalam suatu titik merasa jengah untuk menegur langsung saudara kita. Sehingga kita tegur dalam keramaian. Mungkin saja cara itu lebih memiliki dampak yang signifikan,” terang Sofia.

“Tapi Sofia,” sanggah Aufa, “Bukankah bila cara itu dilakukan, saudara-saudara kita yang lain yang tidak tahu kekhilafan saudara kita, justru jadi mengetahuinya?”

Bersambung …

-= o O o =-

Udara dingin seakan enggan berhenti menyelip menelusuri ruang sempit di antara rajutan benang-benang sweaterku. Tanpa memberikan kesempatan sedikit pun bagi mataku untuk berkedip, udara dingin itu telah menjangkau ruas-ruas tulangku. Tiga tahun penantianku tiba juga. Akhirnya hari ini aku menginjakkan kedua kakiku di daerah sisa-sisa Kerajaan Silla. Konon Kerajaan Silla berhasil menaklukkan dua kerajaan besar seterunya, yaitu Goguryeo dan Baekje. Takluknya dua kerajaan tersebut mengakhiri masa tiga Kerajaan di Korea dan dimulailah era Silla Bersatu.

Sudah satu jam lebih berlalu setelah pesawat yang kutumpangi mendarat di Bandara Internasional Incheon. Tidak mengherankan jika Bandara Internasional Incheon memiliki predikat bandara terbaik di dunia. Rangka baja saling bersilang dan membentuk pola yang teratur di langit-langit terlihat begitu jelas dari tempat dudukku. Arsitektur bandara yang sangat indah dan berbagai fasilitas yang lengkap membuat hati kecilku kagum. Lingkungan bandara yang begitu bersih dan terjaga semakin membuatku terpukau.

Aku masih duduk sendiri ditemani secangkir teh gingseng hangat yang baru saja aku beli dari sebuah mesin minuman. Selang beberapa detik setelah tegukan terakhir teh gingsengku, aku dapat melihat dari kejauhan sosok seseorang yang aku nanti-nantikan. Gaya berjalannya, warna sepatunya, jaket tebal yang dikenakannya, dan tas pinggangnya. Tidak ada yang berubah darinya. Hampir dua tahun kami berpisah.
Continue reading